Generasi Alfa, yang tumbuh besar di tengah pusaran teknologi digital, adalah kelompok demografi pertama yang sepenuhnya native digital. Mereka terbiasa dengan sentuhan layar, akses instan, dan stimulasi visual yang tak henti. Namun, paradoksnya, justru batasan belajar Gen Alfa seringkali muncul dari lingkungan digital yang serba mudah ini. Digitalisasi, yang seharusnya menjadi alat pendorong, justru dapat merintangi penyerapan informasi yang mendalam dan bermakna bagi mereka.
Salah satu batasan belajar Gen Alfa yang paling signifikan adalah dampak kecepatan informasi. Paparan terus-menerus pada konten yang cepat berganti, seperti feed media sosial atau video singkat, melatih otak untuk memproses informasi secara cepat namun dangkal. Ini mengurangi kemampuan mereka untuk berfokus pada satu topik dalam waktu lama, yang esensial untuk memahami konsep-konsep kompleks. Akibatnya, mereka cenderung mudah terdistraksi dan kesulitan dalam membaca buku teks atau mendengarkan penjelasan panjang. Sebuah laporan dari Departemen Pendidikan Nasional pada 15 Agustus 2025, menyoroti penurunan rata-rata durasi konsentrasi pada siswa sekolah dasar dibandingkan dekade sebelumnya.
Kemudian, ketergantungan pada platform digital untuk segala kebutuhan informasi juga menciptakan batasan belajar Gen Alfa. Alih-alih melakukan penalaran kritis atau sintesis informasi dari berbagai sumber, mereka cenderung hanya menyalin apa yang mereka temukan di internet tanpa pemahaman mendalam. Ini menghambat perkembangan kemampuan analisis, evaluasi, dan penciptaan pengetahuan baru. Mereka bisa menjawab pertanyaan, tetapi mungkin tidak benar-benar memahami mengapa jawaban itu benar. Bapak Roni Wijaya, seorang pengawas akademik dari Dinas Pendidikan Kota Cemerlang, dalam rapat evaluasi kurikulum pada 10 September 2025, mengungkapkan kekhawatirannya tentang keterampilan berpikir kritis siswa yang belum optimal.
Selain itu, gaya hidup yang terdominasi digital juga dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental, yang secara tidak langsung menciptakan batasan belajar Gen Alfa. Kurangnya aktivitas fisik dan paparan cahaya biru dari layar dapat menyebabkan masalah tidur, kelelahan, dan bahkan isu kesehatan mata. Semua faktor ini dapat berdampak negatif pada kemampuan kognitif dan motivasi mereka untuk belajar. Dr. Anita Sari, seorang dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Umum Bahagia, dalam sesi edukasi kesehatan pada 20 Juli 2025, menekankan pentingnya manajemen waktu layar yang ketat.
Untuk mengatasi batasan belajar Gen Alfa ini, pendekatan yang proaktif sangat dibutuhkan. Lingkungan pendidikan dan keluarga perlu mendorong keseimbangan antara penggunaan teknologi dan aktivitas offline. Fokus harus diberikan pada pengajaran keterampilan berpikir kritis, literasi digital yang bertanggung jawab, dan pentingnya interaksi sosial tatap muka. Dengan mengarahkan digitalisasi sebagai alat pendukung, bukan penghalang, kita dapat memastikan Generasi Alfa mampu menyerap informasi secara optimal dan berkembang sepenuhnya.